Rombongan guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Madrasah Tsanawiyah (MTs) se-Kabupaten Tegal mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (18/6). Kunjungan para guru berseragam safari itu disambut langsung oleh Peneliti sekaligus Staf Ketua MK Abdul Ghoffar. Selain itu Ghoffar juga berkesempatan menyampaikan materi pendalaman seputar MK dan membuka forum tanya-jawab dengan para guru tersebut.
Memulai penjelasannya, Ghoffar mengatakan bahwa sebelum reformasi Indonesia memiliki pemimpin yang otoriter. Baik pemerintahan orde lama maupun orde baru sempat mengalami “gaya” kepemimpinan otoriter. Meski Ghoffar juga melihat bahwa pada awal-awal pemerintahan kedua orde tersebut gaya kepemimpinan yang otoriter itu belum muncul.
Usut punya usut, diketahuilah bahwa terdapat sistim ketatanegaraan yang salah sehingga para pemimpin bangsa terjebak dalam gaya kepemimpinan yang otoriter. Salah satu kelemahan sistim ketatanegaraan Indonesia, yaitu tidak adanya usaha nyata dalam menegakkan konstitusi meski konstitusi kala itu digadang-gadang sebagai hukum tertinggi. Konkritnya, saat itu Indonesia tidak memiliki pengadilan yang bertugas menegakkan konstitusi.
“Dulu yang menegakkan UUD 1945 tidak ada. Justru kalau yang dilanggar undang-undang dan peraturan-peraturan di bawahnya ada pengadilan yang menyelesaikan masalah itu. Itulah kelemahan sistim ketatanegaraan kita hingga setelah perubahan UUD 1945 yang ketiga, pada tahun 2001 dibentuklah MK,” papar Ghoffar.
Ghoffar kemudian menjelaskan mengapa MK perlu hadir dalam sistim ketatanegaraan di Indonesia. Selama ini, Indonesia dan banyak negara lain yang menganut paham demokrasi. Padahal, lanjut Ghoffar, demokrasi tersebut memiliki “cacat bawaaan”. Maksudnya, dalam demokrasi benar atau salah kalau menjadi mayoritas dapat menjadi benar. Maka untuk ”menyembuhkan” cacat bawaan itu, hadirlah MK yang artinya semua hal harus dihadapkan lagi kepada hukum.
Dari sudut pandang sejarah, kehadiran MK di dunia, dimulai pada tahun 1803 di Amerika Serikat muncul kasus Marbury vs Madison. Saat itu meskipun ketentuan judicial review tidak tercantum dalam UUD AS saat itu, Supreme Court (Mahkamah Agung) AS membuat sebuah putusan yang ditulis salah satu Hakim Agung AS kala itu, John Marshall dan didukung empat hakim agung lainnya. Putusan tersebut menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.
Sejarah judicial review kemudian bergulir ke tahun 1920. Pada tahun itu, seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria, Hans Kelsen yang terinspirasi dengan kasus Marbury vs Madison menyatakan agar ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya, diperlukan organ yang menguji suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi. “Gagasan Hans Kelsen itu kemudian menjadi dasar dibentuknya MK Austria yang menjadi MK pertama di dunia. Sedangkan MK Indonesia merupakan MK ke-78. Terakhir, di dunia tercatat sudah ada sekitar 90-an lebih negara yang memiliki MK” ungkap Ghoffar.
Ghoffar juga menyampaikan mengenai kewenangan dan kewajiban MK. MK memiliki fungsi mengadili norma dan fungsi itu diwujudkan dengan diberikannya kewenangan-kewenangan MK, yaitu berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, berwenang memutus sengketa antar lembaga negara, berwenang memutus perkara pemilu termasuk pemilukada, berwenang memutus pembubaran partai politik, dan berwenang memberikan putusan atas permintaan DPR untuk memecat presiden bila terbukti melanggar konstitusi. (Yusti Nurul Agustin/mh)
Sumber:
http://www dot abdulghoffar dot com postingan bulan Juni tahun 2012 dengan label mgmp-pkn-mts-se-kabupaten-tegal.html
0 Komentar untuk "Kunjungan Rombongan MGMP PKn MTs Kabupaten Tegal Di Mahkamah Konstitusi"